
Pertama kondisi dan kualitas pendidikan di Indonesia itu beragam. Oleh karenanya tidak mungkin hasil belajarnya bisa dites dengan diselenggarakan ujian secara seragam (UN). Kedua bahan ujian hanya tiga, yaitu matematika, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Oleh karenanya ujian itu tidak valid sebagai alat ukur. Di samping itu ujian menjadi tidak repesentatif karena hanya mengukur hasil belajar sebagian saja dari semua mata pelajaran yang diajarkan. Ketiga biaya pelaksanaan UN amat besar bila dibanding kalau hanya dilakukan ujian sekolah.
Sementara itu ujian sekolah lebih valid karena betul-betul menguji hasil belajar atas dasar bahan yang diajarkan oleh guru sekolah terkait. Oleh karenanya tes atau ujian sekolah yang paling cocok adalah ujian sekolah (US).
Diskusi tentang hal-hal tersebut sudah sering dilakukan. Bagaimanapun UN tetap diselenggarakan dan penentangan atas penyelenggaraannya tetap berkumandang. Kondisi semacam itu amat membanggakan karena menunjukkan tetap berkembangnya sikap demokratis.
Yang paling merisaukan kalau ada tanggapan pelaksanaan UN berarti memecah belah bangsa sementara pihak pemerintah sepertinya tidak mau tahu berbagai saran dari pihak yang menentang pelaksanaan UN. Sepertinya yang ada hanya dua kemungkinan yaitu menerima sistem UN atau sama sekali menolak sistem UN. Seolah-olah tidak ada titik temu padahal masing-masing mengaku untuk kepentingan meningkatkan kualitas pendidikan.
Tolok Ukur
Selama ini kita merasa yakin kualitas pendidikan kita tergolong paling rendah baik dibandingkan dengan kelompok lingkungan negeri-negeri Asia Tenggara maupun di kalangan negeri-negeri lain. Selama ini kita tidak pernah mempertanyakan alat ukur yang bagaimana yang digunakan sampai menghasilkan peringkat kualitas pendidikan tersebut.
Kita tidak pernah pula mempertanyakan apakah kondisi serta sistem pendidikan yang dikembangkan pada semua negeri yang diukur kualitasnya itu sama atau bervariasi. Barangkali keragaman sistem pendidikan maupun kondisi masing-masing negeri amat besar, namun kita tidak pernah mempersoalkan.
Berbeda ketika kita memandang hasil UN yang diselenggarakan di Indonesia. Kita sering menyampaikan kondisi, fasilitas, maupun kualitas pendidikan dari berbagai daerah di Indonesia tidak sama. Oleh karenanya tidak bisa diberlakukan ujian yang seragam.
Lalu kita tidak pernah menolak praktik evaluasi tingkat pendidikan antarbangsa itu yang menghasilkan informasi mengenai peringkat pendidikan. Sebab alasan aspek-aspek yang digunakan untuk mengukur hanya sebagian saja, hingga tidak representatif. Alasan itu hanya berlaku untuk memberi penilaian terhadap proses pengukuran yang bernama UN.
Memang tidak bisa disamakan antara pengukuran kualitas pendidikan yang menghasilkan peringkat kualitas pendidikan dan tes hasil belajar (THB), seperti pada ujian akhir atau tes hasil belajar tadi. Pada tes jenis pertama memang tidak diperlukan kesamaan pengalaman dalam belajar maupun bahan ajar, seperti pada tes hasil belajar. Meskipun demikian pada tes jenis pertama tadi masih diperlukan asumsi tentang kesamaan pengalaman belajar, sistem pendidikan, kedewasaan mental. Seperti yang berlaku pada tes IQ.
Sementara itu pada tes hasil belajar dibutuhkan syarat mutlak kesamaan pengalaman belajar yang lebih khusus seperti jenjang pendidikan maupun bahan ajar. Itu sebabnya orang sering berbicara tentang ujian sekolah atau bahkan ujian kelas ketimbang ujian nasional. Meskipun demikian orang tidak bisa melupakan tentang proses belajar mengajar yang berlangsung pada setiap unit sekolah meskipun resminya sama-sama berada pada jenjang pendidikan yang sama.
Oleh karenanya masih terdapat peluang untuk terjadinya perbedaan hasil belajar. Misalnya faktor kualitas pengajar, kualitas proses belajar mengajar, seperti ketersediaan bahan ajar, ketersediaan alat bantu mengajar. Last but not least adalah kualitas peserta didik sebagai masukan sekolah. Dengan alasan semua hal tersebut di atas pendukung pelaksanaan ujian sekolah makin kuat dalam menolak pelaksanaan UN. Bagaimana pandangan pendukung pelaksanaan UN?
Sangatlah mustahil menyusun perangkat tes atau bahan ujian yang bisa mengevaluasi seluruh totalitas aspek kemampuan subyek yang akan dikenai penilaian. Ketika guru akan mengevaluasi hasil belajar peserta didiknya tentu saja keseluruhan jumlah siswanya akan diikutsertakan.
Namun bahan tesnya tidak bakalan seluruh bahan ajar atau isi buku ajar yang digunakan dalam proses belajar mengajar.
Kalau kita akan mengevaluasi kemampuan bahasa Inggris mahasiswa sebuah perguruan tinggi, bisa saja seluruh mahasiswa itu yang akan dievaluasi, kalau perlu. Namun ada cara lain yaitu hanya sejumlah mahasiswa yang dipilih. Sedangkan bahan evaluasi yang digunakan tentu saja hanya sebagian saja yang dipilih sebagai bahan tes. Ini berarti kita telah melakukan pilihan atau seleksi dengan pertimbangan tertentu. Artinya evaluasi itu dilakukan secara selektif.
Dalam ilmu evaluasi cara itu dikenal sebagai teknik sampling atau teknik percontohan. Contoh yang diambil itu harus betul-betul mewakili keseluruhannya atau representatif. Pengertian itu bukan barang baru dalam ilmu pengukuran keberhasilan. Dan penggunaan teknik itu tentu saja ada ilmunya.
Di samping itu dikenal pula teknik purposif atau pertimbangan dalam menentukan pilihan siapa yang akan dijadikan subyek evaluasi maupun menentukan bahan yang akan digunakan untuk bahan evaluasi.
Penentuan mengapa hanya tiga mata pelajaran yang dilibatkan dalam bahan UN tentunya atas dasar pertimbangan matang.
Kemampuan matematika, berbahasa Inggris maupun Indonesia merupakan indikator yang tepat yang sesuai dengan standar kompetensi lulusan. Tentu saja pertimbangan itu sangat disputabel, masih mengundang perdebatan.
Sementara itu pemerintah beranggapan pelaksanaan UN sudah absah karena semua sekolah di daerah manapun di Indonesia menggunakan kurikulum yang sama. Kalaupun ada perbedaan pada setiap daerah hal itu telah diantisipasi lewat muatan lokal yang memberi peluang bagi perbedaan atau variasi. Hal itu memungkinkan hasil UN bukan dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur melainkan upaya standardisasi kualitas pendidikan. Dan sekaligus merupakan ujian bagi lembaga sekolah maupun guru terkait. Dari hasil ujian tersebut dapat diketahui kualitas lembaga sekolah maupun kualitas guru bidang studi. Penolakan pada UN barangkali bisa muncul dari lembaga sekolah maupun guru karena merasa belum mampu mengembangkan kurikulum sebagaimana mestinya. Namun masih tetap bisa dimaklumi pengembangan kurikulum sebagaimana seharusnya masih tetap menghadapi berbagai kendala karena daerah-daerah yang amat bervariasi kondisinya.
Tak ayal seterusnya masih diperlukan ujian sekolah sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan lulusan sekolah. Saya masih memandang ujian masuk sesuatu lembaga pendidikan masih tetap diperlukan sebagai upaya seleksi dalam memilih calon peserta didik pada lembaga pendidikan tinggi.(14)